Oleh Jansen Sinamo.
Hari ini, tepati 47 tahun yang lalu, rakyat Indonesia kehilangan salah satu The Founding Fathers yang juga merupakan Presiden Pertama Republik Indonesia.
Lima hari sebelumnya tanggal 16 Juni 1970 ruangan intensive care RSPAD Gatot Subroto dipenuhi tentara sejak pagi. Serdadu berseragam dan bersenjata lengkap bersiaga penuh di beberapa titik strategis rumah sakit tersebut. Tak kalah banyaknya, petugas keamanan berpakaian preman juga hilir mudik di koridor rumah sakit hingga pelataran parkir.
Sedari pagi, suasana mencekam sudah terasa. Kabar yang berhembus mengatakan, mantan Presiden Sukarno akan dibawa ke rumah sakit ini dari rumah tahanannya di Wisma Yaso yang hanya berjarak lima kilometer.
Di dalam ruang perawatan yang sangat sederhana untuk ukuran seorang mantan presiden, Sukarno tergolek lemah di pembaringan. Sudah beberapa hari ini kesehatannya sangat mundur. Sepanjang hari, orang yang dulu pernah sangat berkuasa ini terus memejamkan mata. Suhu tubuhnya sangat tinggi. Penyakit ginjal yang tidak dirawat secara semestinya kian menggerogoti kekuatan tubuhnya.
Lelaki yang pernah amat jantan dan berwibawa, dan sebab itu banyak digila-gilai perempuan seantero jagad, sekarang tak ubahnya bagai sesosok mayat hidup. Tiada lagi wajah gantengnya. Kini wajah yang dihiasi gigi gingsulnya telah membengkak, tanda bahwa racun telah menyebar ke mana-mana. Bukan hanya bengkak, tapi bolong-bolong bagaikan permukaan bulan. Mulutnya yang dahulu mampu menyihir jutaan massa dengan pidato-pidatonya yang sangat memukau, kini hanya terkatup rapat dan kering. Sebentar-sebentar bibirnya gemetar. Menahan sakit. Kedua tangannya yang dahulu sanggup meninju langit dan mencakar udara, kini tergolek lemas di sisi tubuhnya yang kian kurus.
Dua hari kemudian, 18 Juni 1970 Megawati, puteri pertama dari Fatmawati diizinkan tentara untuk mengunjungi ayahnya. Menyaksikan ayahnya yang tergolek lemah dan tidak mampu membuka matanya, kedua mata Mega menitikkan airmata. Bibirnya secara perlahan didekatkan ke telinga manusia yang paling dicintainya ini.
“Pak, Pak, ini Ega…” (Senyap)
Ayahnya tak bergerak. Kedua matanya juga tidak membuka. Namun kedua bibir Sukarno yang telah pecah-pecah bergerak-gerak kecil, gemetar, seolah ingin mengatakan sesuatu pada puteri sulungnya itu. Sukarno tampak mengetahui kehadiran Megawati. Tapi dia tidak mampu membuka matanya. Tangan kanannya bergetar seolah ingin menuliskan sesuatu untuk puteri sulungnya, tapi tubuhnya terlampau lemah untuk sekadar menulis. Tangannya kembali terkulai. Sukarno terdiam lagi.
Melihat kenyataan itu, perasaan Megawati amat terpukul. Air matanya yang sedari tadi ditahan kini menitik jatuh. Kian deras. Perempuan muda itu menutupi hidungnya dengan sapu tangan. Tak kuat menerima kenyataan, Megawati menjauh dan limbung. Mega segera dipapah keluar.
Keesokan hari, 19 Juni 1970 wakil presiden Republik Indonesia pertama Muhammad Hatta diizinkan mengunjungi kolega lamanya ini. Hatta yang ditemani sekretarisnya I Wangsa Widjaja menghampiri pembaringan Sukarno dengan sangat hati-hati.
Dengan segenap kekuatan yang berhasil dihimpunnya, Sukarno berhasil membuka matanya. Menahan rasa sakit yang tak terperi, Sukarno berkata lemah.
“Hatta.., kau di sini..?”
Yang disapa tidak bisa menyembunyikan kesedihannya. Namun Hatta tidak mau kawannya ini mengetahui jika dirinya bersedih. Dengan sekuat tenaga memendam kepedihan yang mencabik hati, Hatta berusaha menjawab Sukarno dengan wajar. Sedikit tersenyum menghibur.
“Ya, bagaimana keadaanmu, No..?”
Hatta menyapanya dengan sebutan yang digunakannya di masa lalu. Tangannya memegang lembut tangan Sukarno. Panasnya menjalari jemarinya. Dia ingin memberikan kekuatan pada orang yang sangat dihormatinya ini.
Bibir Soekarno bergetar, tiba-tiba, masih dengan lemah, dia balik bertanya dengan bahasa Belanda. Sesuatu yang biasa mereka berdua lakukan ketika mereka masih bersatu dalam Dwi Tunggal. “Hoe gaat het met jou…? ” Bagaimana keadaanmu..?
Hatta memaksakan diri tersenyum. Tangannya masih memegang lengan Sukarno.
Sukarno kemudian terisak bagai anak kecil. Lelaki perkasa itu menangis di depan kawan seperjuangannya, bagai bayi yang kehilangan mainan. Hatta tidak lagi mampu mengendalikan perasaannya. Pertahanannya bobol. Airmatanya juga tumpah. Hatta ikut menangis.
Kedua teman lama yang sempat berpisah itu saling berpegangan tangan seolah takut berpisah. Hatta tahu, waktu yang tersedia bagi orang yang sangat dikaguminya ini tidak akan lama lagi. Dan Hatta juga tahu, betapa kejamnya siksaan tanpa pukulan yang dialami sahabatnya ini. Sesuatu yang hanya bisa dilakukan oleh manusia yang tidak punya nurani.
“No…” Hanya itu yang bisa terucap dari bibirnya. Hatta tidak mampu mengucapkan lebih. Bibirnya bergetar menahan kesedihan sekaligus kekecewaannya. Bahunya terguncang-guncang.
Jauh di lubuk hatinya, Hatta sangat marah pada penguasa baru yang sampai hati menyiksa bapak bangsa ini. Walau prinsip politik antara dirinya dengan Sukarno tidak bersesuaian, namun hal itu sama sekali tidak merusak persabatannya yang demikian erat dan tulus. Hatta masih memegang lengan Soekarno ketika kawannya ini kembali memejamkan matanya.
Sehari setelah pertemuan dengan Hatta, kondisi Sukarno yang sudah buruk, terus merosot. Putera Sang Fajar itu tidak mampu lagi membuka kedua matanya. Suhu badannya terus meninggi. Sukarno kini menggigil. Peluh membasahi bantal dan piyamanya. Malamnya Dewi Soekarno dan puterinya yang masih berusia tiga tahun Karina, ikut hadir menemani di rumah sakit.
Dokter Mahar Mardjono sadar ini mungkin detik-detik terakhir hidup Putra Sang Fajar itu. Dia kemudian menghubungi anak-anak Sukarno. Meminta mereka segera datang.
Minggu, 21 Juni 1970, pukul 06.30 WIB, Tampak Guntur, Megawati, Sukmawati, Guruh dan Rachmawati menunggu dengan tegang kabar ayah mereka.
Pukul 07.00 WIB, Dokter Mahar membuka pintu kamar. Anak-anak Sukarno menyerbu masuk ke ruang perawatan. Mereka memberondong Mahar dengan pertanyaan. Namun Mahar tak menjawab, dia hanya menggelengkan kepala.
Pukul tujuh lewat sedikit, suster mencabut selang makanan dan alat bantu pernapasan. Anak-anak Sukarno mengucapkan takbir.
Megawati membisikkan dua kalimat syahadat ke telinga ayahnya yang saat itu mengenakan sarung lurik warna merah serta baju hem coklat, Sukarno mencoba mengikutinya. Namun kalimat itu tak selesai.
“Allaaaah…” bisik Sukarno pelan seiring nafasnya yang terakhir.
Tangis pecah. Pukul 07.07 WIB, seorang manusia bernama Sukarno kembali pada penciptanya. Berakhirlah tugasnya sebagai penyambung lidah rakyat Indonesia.
Hartini, istri ke-4 Bung Karno , baru sampai di RSPAD, sekitar pukul 08.30 WIB. Begitu melihat suami yang sangat dicintainya itu telah tak bernapas lagi, Hartini langsung jatuh pingsan.
Setelah beberapa saat siuman, Hartini kembali meluapkan kesedihan dan rasa kehilangannya. Dengan penuh kesedihan, Hartini menciumi jasad suaminya yang sudah tak bernyawa itu.
Selang setengah jam kemudian, Ratna Sari Dewi (Naoko Nemoto) istri ke-5 Bung Karno tiba di RSPAD., Kesedihan dan isak tangis tak terbendung dari dirinya. Dewi yang datang dengan buah cintanya bersama Bung Karno , Karina (Kartika) menangis sedih sembari menciumi jasad Bung Karno yang sudah terbujur kaku dengan wajah bengkak serta rambut dikepala mulai terlihat menipis
Jenasah lalu dibawa ke Wisma Yaso. Di ruangan kamar yang masih dihiasi termos dengan gelas kotor, serta sesisir buah pisang yang sudah hitam dipenuhi jentik jentik seperti nyamuk terbaring sang proklamator yang separuh hidupnya dihabiskan di penjara dan pembuangan kolonial Belanda. Hanya ada Bung Hatta dan Ali Sadikin selaku Gubernur Jakarta saat itu.
Setelah Bung Karno diangkat tubuhnya dipindahkan ke atas karpet di lantai di ruang tengah, barulah putra sulung sang proklamator Guntur Soekarnoputra tiba di Wisma Yaso disusul dengan orang-orang yang mulai berdatangan untu melihat yang terakhirkalinya jasad Putra Sang Fajar. Di antara sayup-sayup suara seorang Ibu yang membacakan surat Yasin dekat jenasah Bung Karno, terdengar Ibu Wardoyo kakak kandung Sukarno terus meratap. “Karno, kowe kok sengsoro men.“
Meski kabar duka wafatnya Bung Karno baru diterima Inggit Ganarsih istri kedua Bung Karno, hal itu tak menghalanginya untuk langsung bergegas meninggalkan Bandung menuju Jakarta untuk menemui mantan suami yang begitu dicintai hingga akhir hayatnya. Setibanya di Wisma Yaso, Inggit menangis sedih karena pria yang dicintainya itu telah mendahuluinya.
“Ngkus, guing Ngkus mendahului, Ngit mendoakan,” kata Inggit dengan suara terputus-putus, seperti dikutip dari buku ‘Hari-Hari Terakhir Sukarno’ Karya Peter Kasenda, terbitan Komunitas Bambu.
Senada dengan Inggit, mantan istri Bung Karno , Haryatie merasa hancur hatinya saat melihat pria yang dulu memberinya kasih sayang kini diam dingin dengan wajah tertutup kafan. Suasana hati Haryatie seakan ingin memberontak, menjerit dan menangis saat itu.
Namun hal itu tidak dilakukannya. Dalam hati Haryatie berbisik kepada Soekarno . Dia meminta maaf atas semua kesalahan yang pernah dibuatnya.
Sementara itu, Yurike Sanger, istri ke-7 Bung Karno , menangis histeris saat melihat putra sang fajar telah membujur kaku. Saat itu, jenazah Bung Karno sudah disemayamkan di Wisma Yaso.
Dalam buku ‘Percintaan Bung Karno dengan Anak SMA’ karya Kadjat Adra’i, terbitan Komunitas Bambu, diceritakan, Yurike meratapi kepergian Bung Karno . Dia meratapi wajah Bung Karno yang tersenyum damai di balik kerudung kelambu putih itu.
“Kata orang aku tak sekadar meratap, tetapi histeris. Aku tidak peduli. Berkali-kali kupanggil namanya hingga suaraku tak terdengar lagi,” kata Yurike.
Berbeda dengan istri-istri Sukarno yang lain Fatmawati istri ke tiga Bung Karno, memilih tak datang melihat jenazah suaminya. Kalimat ‘Innalillahi Wainnaillaihi raji’un’ sontak keluar dari mulutnya saat mendengar kabar wafatnya Bung Karno. Fatmawati menangis di rumahnya yang terletak di Jalan Sriwijaya 26 Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Rasa cemburu kepada Hartini sepertinya masih membekas di hatinya.
Tidak disangka-sangka, Pemerintah memutuskan jenazah Sukarno disemayamkan di Wisma Yaso. Ibu Fatmawati sungguh marah dan kecewa dengan campur tangan Pemerintah. “Tidak, tidak ada cerito. Ini rumahnyo.“ Batin Fatma terguncang. Ia amat terpukul dan tercampak ke sudut yang paling sunyi. Air matanya menetes. Ia berharap lelaki itu hanya mencintai dirinya. Semua ini tercermin dari sikapnya yang memohon agar Bung Karno dapat disemayamkan di rumahnya di Jalan Sriwijaya Kebayoran Baru. Namun Pemerintah menolak permintaan itu.
Ketika jutaan rakyat terpaku kelu dengan duka mendalam atas kepergian sang pemimpin besar revolusi, Fatmawati justru termangu sunyi di rumahnya. Ibu Fat yang teguh pendiriannya karena tidak akan datang ke Wisma Yaso – rumah Ratna Sari Dewi – hanya bisa mengirim karangan bunga. Sebuah tulisan tangan Fatma berbunyi “Tjintamu menjiwai rakyat. Tjinta Fat“.
Sempat terjadi perundingan antara Hoegeng, Kepala Polisi RI yang bertindak sebagai wakil keluarga Bung Karno dengan Alamsyah Prawiranegara dan Tjokropranolo yang menjadi asisten pribadi Soeharto.
Tercium aroma politis yang kuat. Pemakaman yang seharusnya menjadi perkara biasa dan diputuskan keluarga, ternyata menjadi perkara politis. Sejak awal Bung Karno menginginkan dimakamkan di Bogor. Namun Soeharto memutuskan untuk memakamkan di Blitar, dengan alasan dekat dengan ibunda Sukarno.
Ini yang kelak menjadi justifikasi Orde Baru dengan mengatakan kota kelahiran Bung Karno di Blitar. Alasan sesungguhnya, Soeharto, jika Bogor menjadi makam seorang Sukarno, maka tempat ziarah itu terlalu dekat dengan Jakarta. Secara politis itu berbahaya.
Ketika pelepasan jenazah dari Wisma Yaso menuju Bandara Halim Perdana Kusuma, jalan sepanjang kurang lebih 10 km itu dipadati masyarakat. Di antaranya banyak yang melelehkan air mata dan terisak-isak saat melepas jenazah Bung Karno.
Selain itu wafatnya Bung Karno mendapat reaksi dari para pemimpin dunia, sementara surat-surat kabar di luar negeri memberitakannya di halaman muka. Presiden AS Richard Nixon dalam komentarnya menyatakan, “Kepergiannya telah menandai babak baru dalam sejarah Indonesia. Karena Sukarno merupakan bagian erat dari sejarah.”
“Ir Sukarno adalah kecintaan Rakyat Mesir dan guru saya,” kata Presiden Gamal Abdel Nasser.
“Ia adalah seorang pejuang yang berani dalam melawan kolonialisme,” komentar PM Malaysia Tengku Abdurahman, sekalipun ia dan Bung Karno pernah saling bermusuhan saat berkonfrontasi.
Sukarno adalah seorang sosok pahlawan yang sejati. Dia tidak hanya diakui berjasa bagi bangsanya sendiri tapi juga memberikan pengabdiannya untuk kedamaian di dunia. Kita semua harus sepakat bahwa Sukarno adalah seorang manusia luar biasa yang belum tentu dilahirkan kembali dalam kurun waktu satu abad.
Kini telah tiada lagi manusia yang bisa membuat dunia terdiam dengan perkataannya, tidak ada lagi singa yang sangat ganas. Betapa kejamnya siksaan tanpa pukulan yang dialami Sukarno. Terima kasih wahai Bung Karno karena telah membuat rakyat indonesia dapat terbebas dari penjajahan yang amat pedih. Jasamu tak akan pernah dilupakan. Dan terima kasih Allah karena engkau telah menciptakan manusia terhebat di negara kami. Selamat jalan wahai Singa Mimbar.
Sebagai wujud hormat saya kepada Sang Proklamator, sebelum mem-posting tulisan ini saya pejamkan mata berdoa menurut kepercayaan saya sebagai wujud hormat dan cinta saya kepada Pemimpin Besar Revolusi ...
Komentar