Pertanyaan Yang Merobek-robek Hati Sanubari
Saya sangat trenyuh membaca komentar komentar AK anak kecil murid JIS yang menjadi korban perbuatan biadab paedofil di sekolahnya. Setiap kali membaca komentar dan pertanyaan yang diajukan kepadanya mamanya, sebagaimana dilaporkan oleh Kompas.com, saya sangat sedih. Saya juga bisa merasakan apa yang dirasakan oleh orang tuanya melihat sikap dan tingkah laku AK anaknya
Coba dengarkan dan bayangkan pertanyaannya ini : 'Mami apakah masih cinta aku?' Pertanyaan yang sangat dewasa sekali, namun diajukan oleh seorang anak kecil yang masih berusia 6 tahun. Pertanyaan yang tidak asal diucapkan, atau pertanyaan yang merupakan hafalan dari mata pelajaran Bahasa Indonesia. Namun pertnyaan ini datang dari jiwa yang sangat meradang, jiwa dari seorang anak kecil, karena merasa jijik dengan tubuhnya sendiri. Pertanyaan yang seharusnya tidak diajukan oleh seorang anak dalam usianya yang seharusnya sangat mesra dengan orang tuanya.
Lalu bayangkan pula seorang anak kecil yang masih sangat lugu, yang pergi ke toilet di sekolahnya. Tiba tiba dia disekap oleh 3 atau 4 orang dewasa. Satu orang anak usia 6 tahun dipegang oleh 3 orang dewasa, ada yang menyekap mulutnya, ada yang memeloroti celananya, ada yang memasukkan jarinya (maaf) ke anus nya, lalu seorang yang lain memasukkan (maaf) kemaluannya sendiri ke bokong anak itu. Ah, penderitaan apa yang dirasakan oleh anak kecil itu. Saya benar benar tidak bisa membayangkan penderitaan yang dirasakan oleh AK sang korban.
Namun yang lebih sadis lagi, perbuatan itu tidak hanya terjadi sekali. Berkali kali, sejak bulan Februari 2014. Ah, segala umpatan dan kata kata makian kepada pelaku ada di ubun ubun saya. Tapi satu pun tidak ada yang keluar. Hanya pertanyaan pertanyaan yang akhirnya muncul bersamaan dengan tetesan air mata. “Dunia apa yang kita diami sekarang ini? Sekolah apa Jakarta International School itu. Apa yang akan terjadi kelak dengan sang korban AK sendiri?” Sulit sekali membayangkannya, sulit sekali menerimanya.
Satu hal yang sangat positif yang perlu didukung semua pihak adalah tekad Ibunda korban untuk mengawal kasus ini sampai tuntas. Diberitakan bahwa suaminya (ayahanda korban AK) mau pindah ke Belanda, namun TH istrinya belum mau karena ingin melihat bahwa hukum benar benar ditegakkan supaya tidak ada lagi Ibu atau orang tua yang anaknya menjadi korban perbuatan biadab paedofil. Lebih lengkapnya Kompas.com melaporkan :
"Dia (DK) sempat minta pulang ke Belanda. Suami saya stres dengan kejadian ini," kata ibunda AK, TH, Senin (28/4/2014). Namun, lanjutnya, TH menolak keinginan suaminya itu. Dia bertekad akan mengikuti penyelidikan hingga selesai dan menuntut keadilan atas kekerasan yang menimpa putranya.
"Saya ini begini. Kenapa saya ngotot? Saya enggak mau ini terjadi kepada orangtua lain. Saya tahu rasanya seperti apa. Saya nggak mau orang paedofil itu masih berkeliaran biarpun sudah dipecat, nanti dia bekerja di mana, dia ngincar anak lagi," papar TH.
Disisi yang lain kita sangat membenci semua pelaku. Lima orang pelaku berusia dua puluhan, dan satu orang (pelaku keenam) sudah tewas bunuh diri. Ingin rasanya menyiksa mereka sesadis sadisnya karena mengingat perbuatannya yahg sangt tidak manusiawi. Ingin agar semua pelaku dihukum seberat beratnya. Namun siapakah mereka? Mereka hanya petugas kebersihan, mereka berasal dari strata rakyat paling kecil. Tanpa peristiwa ini pun kehidupan mereka sudah menderita, dengan perbuatan (paedofil) ini penjara pasti sudah menunggu mereka.
Saya tidak ingin mendengar bahwa kelak peristiwa ini sengaja didesain untuk mengobok obok perasaan kemanusiaan kita. Kita tidak ingin suatu saat mendengar bahwa rakyat kecil (pelaku) sengaja diperalat dan dipergunakan untuk menyodomi anak kecil, lalu perbuatan ini direkam untuk diperjual belikan di internet. Kita juga tidak ingin mendengar bahwa JIS adalah sebuah tempat dengan selubung Sekolah International merupakan tempat praktek perbuatan bejat berskala international.
Komentar