Featured Post

Catatan Tambahan PJJ 28 April – 4 Mei 2024

Gambar
  Thema :  Ersada Ukur Ras Ersada Sura Sura 1 Korinti 1 : 10 – 17   Bahasa Karo  O senina-senina, kupindo man bandu i bas gelar Tuhanta Jesus Kristus: ersadalah katandu kerina, gelah ula sempat jadi perpecahen i tengah-tengahndu. Ersadalah ukurndu janah ersadalah sura-surandu. Maksudku eme: maka sekalak-sekalak kam nggo erpihak-pihak. Lit si ngatakenca, "Aku arah Paulus, " lit ka si ngatakenca, "Aku arah Apolos, " deba nina, "Aku arah Petrus, " janah lit pe si ngatakenca, "Aku arah Kristus." Sabap piga-piga kalak i bas jabu Klue nari ngatakenca man bangku maka i tengah-tengahndu lit turah perjengilen. Ibagi-bagiken kin Kristus man bandu? Paulus kin si mate i kayu persilang man gunandu? I bas gelar Paulus kin kam iperidiken? Kukataken bujur man Dibata sabap sekalak pe kam la aku mperidikenca, seakatan Krispus ras Gayus. Dage sekalak pe kam la banci ngatakenca maka kam nai iperidiken gelah jadi ajar-ajarku. Lupa aku! Istepanus ras isi jabuna pe nai

APAKAH YANG SALAH PADA BANGSA INI?



Sebenarnya hati kita sempat lega dengan terciptanya solusi yang cukup memenuhi keinginan rakyat banyak terhadap kasus Chandra M Hamzah dan Bibit Samat Riyanto, ditambah dengan menggunungnya koin rakyat untuk membantu kasus Prita Mulyasari. Kita sempat berfikir bahwa tinggal menunggu penyelesaian kasus Bank Century yang akan dituntaskan oleh PANSUS DPR. Namun tiba-tiba di penghujung tahun ini, baru-baru 3 hari yang lalu, kembali kita dikejutkan oleh munculnya manuver-manuver baru seperti terbitnya buku “Membongkar Gurita Cikeas” yang ditulis George Adi Tjondro.

Kita tidak habis berfikir, bahkan geleng-geleng kepala yang sangat meusingkan mengikuti semua yang terjadi di Bumi Tercinta ini. Sebagai rakyat biasa yang tidak mempunyai kekuatan apa-apa, kita seolah-olah disingkapkan segala kepura-puraan dan kemunafikan. Kita tidak tahu siapa yang benar, siapa yang salah; siapa yang ingin memanfaatkan siapa, siapa yang ingin memojokkan siapa, siapa yang ingin menonjolkan diri, kelompok atau golongannya. Yang pasti kita bisa menyadari, bahwa akan masih banyak tersita waktu untuk membersihkan segala kotoran dan noda, akan masih dibutuhkan sedemikian banyak energi hanya untuk upaya menutupi borok-borok yang terkuak perlahan-lahan. Akan banyak tontonan konyol penuh dengan balutan make up artifisial palsu yang menampilkan pembicara-pembicara yang jauh dari etika dan sopan-santun di televisi, koran, radio, majalah-majalah. Coba bayangkan, pembelajaran apa yang disuguhkan para penguasa itu kepada kita.

Lalu mengapa hal ini bisa terjadi? Beberapa tahun dulu, Lord Acton pernah menulis buku “Power Tend To Corrupt”. Nampaknya sulit disangkal kebenaran ungkapan itu, apalagi kalau kita cermati apa yang terjadi 6 bulan belakangan ini. Ada banyak alasan mengapa yang punya Power itu selalu cenderung untuk menggunakan kekuasaannya memakai jalan-jalan pintas. Apakah demi mempertahankan reputasi dan era nya, apakah karena pendukungnya semakin banyak, apakah karena memang mempunyai kiat yang pada awalnya nampaknya tidak salah dan sebab-sebab yang lain. Disamping itu, saya masih mempunyai 3 alasan mengapa di bumi ini, seolah-olah masalah mengenai integritas dan kejujuran itu selalu ada.

Yang pertama saya kira, Bangsa kita kurang mendaratkan atau mempraktekkan nilai-nilai agama dan spiritualitas dalam praktek kehidupan sehari-hari. Nilai-nilai dan praktek keagamaan hanya di ekspresikan pada ritual-ritual dan tempat-tempat beribadah saja. Begitu memasuki praktek hidup pekerjaan sehari-hari maka, aturan bisnis dan upaya untuk lebih dahulu memenuhi kebutuhan pribadilah yang lebih dominan. Pertimbangan ini baik dan itu salah, ini dosa itu benar, tidak dipakai dalam mengambil keputusan-keputusan bisnis apalagi politik. Hal ini terjadi karena dangkalnya pemahaman terhadap aspek-aspek transedental keberagamaan kita. Tentu saja dipercepat dan diperparah oleh tidak ada lagi figur atau teladan yang cukup terpublikasikan secara positif kepada seluruh rakyat. Bahkan sebaliknya, banyak tokoh tokoh tertinggi agama yang terjun ke politik, sehingga Rakyat belajar bahwa cita-cita tertinggi pemimpin agama di Republik ini pun hanya beralih ke dunia politik atau menjadi Menteri.

Yang kedua adalah masih dominannya paradigma feodalisme khususnya dalam diri elite Bangsa ini. Jangan-jangan jika seseorang mendapat jabatan, paradigma dasarnya “aku bisa menguasai dan mengatur”, bukan “bagaimana aku bisa tampil sebagai pelayan masyarakat”. Selanjutnya, kiat-kiat untuk memperkaya diri lah yang dipakai dalam polesan (seolah-olah) ini program untuk rakyat. Ada sumpah jabatan yang intinya komitmen untuk melakukan integritas dalam melayani rakyat, namun belakangan kita kehilangan makna terhadap “sumpah” itu sendiri. Dan paradigma feodalisme ini semakin menemukan jati dirinya dalam networking yang dibentuk antara beberapa kelompok, penguasa, pengusaha, politisi, media, dan sebagainya.

Yang ketiga adalah lemahnya penegakan hukum di bangsa ini. Deni Indrayana dalam suatu seminar di Jakarta beberapa waktu yang lalu pernah menyinggung bahwa hukuman terberat bagi koruptor di Indonesia maksimal 6 tahun. (Coba bayangkan dengan pencuri semangka, cacao dan seorang bapak yang Hanya memiliki sebutir ekstasi itu). Jika sebuah keputusan sudah jelas salah secara moral namun pertimbangan moral itu tidak pernah dipakai, lalu seandainya pun salah secara hukum, hukum bisa diatur, maka tidak ada lagi ketakutan dan kekhawatiran yang bisa menghambat seseorang dalam melakukan manuver-manuver liciknya. Mengapa mesti takut, dan apa perlunya ditakutkan? Akhirnya merajelalah segala kemunafikan dan kekuasaan itu. Rakyat seolah-olah dilemahkan dalam situasi seperti ini. Benar. Namun Rakyat masih mempunyai pembela yakni oleh sesosok yang tak mungkin dikalahkan yaitu prinsip kebenaran universal. Jika kebenaran dilanggar, tidak ada yang bisa menghentikan akibatnya. Seperti yang dikatakan oleh Steven Covey, kita hanya bisa memodifikasi prosesnya, tapi tidak bisa memodifikasi akibatnya.

Dan teringatlah saya apa yang dikatakan oleh Sean Connery dalam film The First Knight, ketika memergoki permaisurinya berciuman dengan kesatria pertamanya; “Katakanlah kebenaran itu meskipun itu sangat menyakitkan hatiku, apakah kamu mencitai dia”. Wahai bangsaku, “singkapkanlah kebenaran itu meskipun itu sangat menyayat hati setiap rakyat Indonesia, karena merasa dibohongi”. Selamat natal dan selamat Tahun Baru 1 Januari 2010.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Indah Pada Waktunya / Pengkhotbah 3:11-15 ( Pekan Penatalayanan Hari Keempat)

Catatan Tambahan PJJ 1 – 7 Oktober 2023

Catatan Tambahan PJJ 27 Agustus – 2 September 2023