Modus
black campaign yang ditujukan kepada kubu Capres No 2 Jokowi-JK sekarang sudah berubah.
Kalau awalnya yang “diserang”
adalah pribadi Jokowi, sekarang sudah diubah yang “diserang” adalah partai pendukung Jokowi yaitu PDIP.
Serangannya pun sangat sensitif, bahkan menurut
Ketua MPR RI sangat brutal.
Beralihnya modus “serangan”
ini dapat diduga karena kelompok “penyerang” merasa frustasi dan hampir patah arang.
Sebab apapun yang dijadikan sebagai “peluru” dalam “serangannya” semua nya mentok.
Jokowi yang diserang dengan berita ala “Obor Rakyat” ternyata sama sekali tidak mempan, bahkan dua orang pentolan Obor Rakyat itu sekarang ditetapkan sebagai
tersangka.
Demikian juga serangan serangan lain seperti misalnya tuduhan bahwa Jokowi terlibat dalam korupsi pengadaan bus Trans Jakarta. Adanya transkrip palsu seolah olah percakapan Megawati dengan Jaksa Agung tentang rekayasa keterlibatan Jokowi. Namun semua juga gagal dan mentok.
Memang beberapa hasil survey menampakkan tanda tanda peningkatan elektabilitas pasangan Capres No 1, namun lembaga survey yang lain mengatakan bahwa elektabilitas Jokowi-JK tetap yang teratas dan sulit tertandingi. Kenyataan inilah yang barangkali membuat pihak “penyerang” merasa hampir kewalahan, apalagi hari H pilpres tinggal 2 hari lagi.
Lalu serangan yang lain yang mereka anggap lebih mematikan pun dilontarkan.Corongnya adalah TV One, dengan membuat acara yang memberitakan bahwa PDIP seolah olah Pro terhadap Partai Komunis. Isu yang sangat sensitif inipun dijadikan alat untuk kampanye hitam, tujuannya supaya para calon pemilih khususnya yang masih belum menentukan (swing voter) meninggalkan Jokowi-JK dan memilih pasangan Capres yang lain.
Mengapa “serangan” demi “serangan” dilakukan kepada kubu Jokowi-JK dan PDIP? Bukankah dalam pemilihan itu pasti akan ada pemenang dan akan ada yang kalah? Bukankah pemenang nya nanti, apakah Jokowi-JK atau Prabowo-Hatta sama sama putra putra Indonesia terbaik?
Nampaknya ada kubu yang tidak siap untuk kalah. Kalau kubu Jokowi-JK saya yakin lebih siap untuk kalah, sebab kalaupun kalah Jokowi akan kembali menjadi Gubernur DKI dan PDIP serta 4 partai pendukungnya, Nasdem, PKB, Hanura dan PKPI siap menjadi oposisi seperti PDIP sebelumnya.
Ketidak siapan untuk kalah ini saya pikir tidak berada dalam diri Jokowi dan koalisi partai pendukungnya. Sebab kebanyakan partai pendukung Jokowi-JK tidak mempunyai keterkaitan dengan pihak pemerintah atau penguasa .Hanyalah PKB yang Ketua Umumnya menjadi salah satu menteri dalam Kabinet Indonesia Bersatu II, sedangkan PDIP, Nasdem, Hanura dan PKPI tidak mempunyai kader yang menjadi menteri.
Lagipula ada hasil
analisa psikologi yang dilakukan oleh ratusan Pakar Psikologi
Tanah Air yang menyimpulkan bahwa Jokowi mempunyai ambisi yang paling rendah untuk menjadi presiden
jika dibandingkan dengan Prabowo, Hatta Rajasa dan Jusuf Kalla.
Prabowo mempunyai ambisi yang paling tinggi untuk menjadi presiden RI berikutnya.
Sedangkan Jokowi yang terbiasa
Low Profile menganggap menjadi presiden itu lebih kepada amanah untuk melaksanakan tugas.
Ambisi yang lebih tinggi untuk menang tentu sejalan dengan rendahnya ketidak siapan menerima kekalahan. Dan ambisi yang rendah untuk menang sejalan juga dengan kesiapan yang lebih tinggi dalam menerima kekalahan.
Sebagai catatan tambahan partai partai pendukung Capres Prabowo-Hatta kecuali Gerindra maka 5 partai yang lain adalah partai yang ikut berkuasa pada periode 2009-2014. Dan kekuasaan yang dimiliki oleh partai partai ini tentu membuat relatif lebih sulit dilepaskan jika nantinya menerima kekalahan dalam Pilpres.
Partai Demokrat yang menjadi pemenang pemilu legislatif dan pemilu presiden tentu yang paling berkuasa selama ini. Sehingga merekalah yang lebih banyak menguasai kementerian, BUMN dan jabatan jabatan yang lain. Partai Demokrat mempunyai menteri di Kementerian Energi, Kementerian Pemuda dan Olah Raga, Kementerian Koperasi dan yang lain
Partai PKS mempunyai menteri pada Kementerian Pertanian dan Kementerian Telekomunikasi dan Informasi. Partai Golkar mempunyai menteri di Kementerian Kelautan, Kementerian Perindustrian, Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat. Partai PAN mempunyai kader sebagai Menteri Koordinator Ekonomi yang sekarang menjadi calon wakil presiden no 1. PartaiPersatuan Pembangunan (P3) menguasai Kementerian Agama dan Kementerian Perumahan Rakyat.
Jadi jika presiden yang diusung oleh partai partai ini kalah maka mereka kemungkinan besar tidak lagi menguasai kementerian kementerian yang disebutkan diatas. Artinya mereka pun tidak lagi mempunyai pengaruh atau kekuasaan dalam bidang energi (Migas, Batu Bara, Panas Bumi, Pertamina, PLN), dalam bidang pertanian (pengadaan benih dan bibit, impor daging, beras, gula dan ekspor CPO), dalam bidang ekonomi dan perdagangan, dalam bidang agama (Penyelenggaraan Haji) dalam bidang kesejahteraan rakyat, dalam bidang olah raga, dalam bidang koperasi dan dalam bidang teknologi komunikasi dan infromasi (pengaturan frekwensi).
Kekalahan dalam pemilihan presiden bagi partai Koalisi Pendukung Prabowo dan Hatta adalah juga terhentinya kekuasaan dan pengaruh dalam mengatur Bangsa ini. Tentu implikasi inilah yang membuat mereka lebih tidak siap untuk kalah.
Komentar