Mengapa penduduk tak henti
melakukan ritual di Gunung Sinabung ? Sebagaimana ramai diberitakan baik
melalui Media Utama, maupun Media Sosial bahwa selalu saja ada kelompok penduduk
yang terkena bencana di sekitar Gunung Sinabung melakukan ritual. Mereka melakukan ritual
dengan melakukan penyembahan kepada Roh Yang dianggap berkuasa untuk
menghentikan letusan Gunung Sinabung, ataupun meminta pertolongan agar tidak
mendapat bencana yang lebih besar. Tidak
hanya pada tahun 2013 ini penduduk di Mardinding dan Gurukinayan yang melakukan
ritual, namun pada letusan pertama pada tahun 2010 pun ritual semacam ini sudah
dilakukan.
Ritual di Gunung Sinabung
Menyikapi adanya ritual ini sebagian warga gereja (perantauan)
langsung bereaksi negatif dan
selanjutnya menuduh pihak gereja kurang mampu mengajarkan prinsip prinsip
kekristenan kepada warganya. Bahkan ada
yang langsung menganggap perbuatan melakukan ritual itu adalah dosa besar, dan khasiatnya pun tidak ada. Karena buktinya letusan Gunung Sinabung
ternyata makin besar, dan mengakibatkan jumlah pengungsi pun makin banyak.
Data terakhir pada hari ini tanggal 26 Nopember 2013, jumlah
pengungsi sudah mencapai angka 17.000 yang tersebar pada lebih 28 posko yang
didirikan. Tulisan saya kali ini tidak
ingin menyatakan ritual itu salah atau benar, namun sedikit berusaha untuk
menunjukkan mengapa ritual itu ada.
Ritual Di Gunung Sinabung
Dari penelusuran melalui google ke beberapa tempat/gunung bisa
disimpulkan bahwa ritual seperti di Gunung Sinabung ternyata dilakukan juga di
tempat tempat lain.
Di
Gunung TangkubanPerahu pun penduduk setempat melakukan ritual dengan mengumpulkan dan
memberikan semacam sesajen.
Demikian
juga di
Gunung Merapi ritual ritual penyembahan pun tidak berhenti dilakukan.
Bahkan salah satu tokoh penjaga ritual di Gunung Merapi adalah Mbah Maridjan,
yang akhirnya menghembuskan nafasnya saat musibah awan panas melanda Gunung
Merapi beberapa tahun yang lalu.
Gunung memang selalu dipakai untuk upacara upacara
kosmik. Upacara yang menghubungkan
kejadian sehari hari dengan hal hal yang bersifat kosmik atau sakral.
Pegunungan adalah simbol kosmologis pertemuan ilahi-manusia, serta titik
penciptaan-penciptaan masyarakat serta kosmos.
Penyembahan penyembahan dan pengorbanan pengorbanan selalu dilakukan di gunung,
sebagai bukti bahwa gunung memang mempunyai makna yang sangat dalam. Ketika
manusia memberikan kurban kepada dewa biasanya dilakukan di gunung, bukan
dilembah atau sungai.
Tergantung pada era,
budaya, dan teks, penekanan kosmologis di
gunung di[ercaya sebagai : tempat
berkumpulnya para dewa, titik penghubung antara langit dan bumi, serta pusat / pusar bumi (dan dengan demikian locus penciptaan), dan lokus wahyu
(diberikannya wahyu oleh para dewa kepada manusia)
Jadi dapat dipahami bahwa budaya penyembahan masyarakat yang
bertempat tinggal di sekitar gunung adalah sebuah budaya atau kesadaran yang
sudah berumur sangat panjang sekali.
Mengapa ada masyarakat memilih bertempat tinggal di sekitar gunung pun
kemungkinan besar bukanlah sebuah pemilihan yang tidak beralasan. Boleh jadi keputusan untuk memilih tempat tinggal di
sekitar gunung adalah sebuah pemilihan yang dilandasi dengan keyakinan
keyakinan tertentu.
Ritual di Gunung Tangkuban Perahu
Maka kalau terjadi ritual penyembahan di Gunung Sinabung
pada peristiwa letusan tahun 2010 dan 2013 tidak lah tepat jika langsung mempersalahkannya, sebab kesadaran
ini ternyata lebih dalam dan lebih lama tertanam dalam benak dan emosi
masyarakatnya. Dengan kata lain
penghayatan spiritualitas masyarakat Gunung terbentuk lebih dalam dengan simbolisasi gunung itu sendiri. Artinya gunung itulah kepercayaan mereka.
Jika gunung itu bergetar atau meletus seperti saat ini, maka kepada gunung
itulah mereka berseru dan menyembah. Dalam
hal ini menyembah gunung bukanlah menyembah batu, namun ada penguasa (roh) yang
kehadirannya mereka anggap/lihat melalui Gunung Sinabung.
Siapa kah Roh atau penguasa Gunung itu? Antara lain disebut
"Nini Lau Pirik". Atau juga roh roh nenek
moyang yang menjadi penjaga gunung atau para dewa atau dibata dibata.
Mengapa Kesadaran
Menyembah Gunung Dapat Bertahan?
Saya kira jawabannya ada dua faktor yang bisa saling
terkait. Alasan yang pertama karena kesadaran yang sangat kuat dan berakar bahwa gunung adalah simbol kehadiran penguasa alam.
Penguasa gunung adalah penguasa
yang diyakini sangat baik, karena kesuburan tanah disekitar gunung dipercaya
sebagai pemberian Si nini atau dewa ini.
Dalam Ilmu Tanah memang dipelajari bahwa tanah tanah di sekitar gunung
adalah tanah yang paling subur, karena pembentukan tanah di gunung sangat
dipengaruhi oleh debu atau lava gunung yang memang mengandung mineral mineral penyubur tanah yang sangat tinggi.
Ritual di Gunung Merapi
Alasan yang kedua adalah karena lemahnya pengajaran tentang
Tuhan sebagai sang pencipta alam semesta.
Pengajaran tentang Tuhan seharusnya mampu untuk menggantikan sosok yang
dipercaya atau disembah sebagai nini, bukan dengan cara langsung mengatakan bahwa
menyembah “nini” itu dosa dan salah besar.
Sebab selama ini “nini” itulah yang dipercaya sebagai sang pemberi
kesuburan dan sang pelindung, jika tiba tiba dikatakan salah dan dosa, pastilah
batin mereka membelanya mati matian.
Dan terbukti, pada saat letusan ini, bukan kepada Tuhan
mereka mengadu tetapi kepada yang dipercaya sebagai nini itu. Sebab nini lebih jelas, daripada Tuhan dan
lebih tertanam dalam kesadaran mereka.
Bagaimana Kedepan
Menurut Ahli dan Pengamat Gunung Api yang paling berpengaruh
di Indonesia Pak Surono, bahwa masyarakat Gunung Sinabung pasti akan mengalami
perubahan budaya, sebab situasi Gunung Sinabung tidak akan pernah lagi seperti
semula. Gunung Sinabung menurut Pak
Surono sedang dalam proses bertumbuh menuju bentuk barunya. Perubahan budaya tentu saja dimulai dengan pergeseran
keyakinan dan kepercayaan. Maka saat
inilah pihak gereja perlu menjelaskan secara ilmiah tentang Gunung Api, serta
mengajarkan konsep mengenai Tuhan dengan lebih baik.
Penjelasan penjelasan gamblang mengenai Gunung Api (Gunung
Sinabung) dapat memberikan evaluasi diri kepada penduduk sehingga kesadaran
mereka akan adanya penunggu gunung api ternyata keliru. Dan jika pada saat yang sama diberikan
pengajaran tentang Tuhan, maka keyakinan mereka bisa beralih dari tadinya
percaya kepada “nini” menjadi percaya kepada Tuhan.
Melakukan pengajaran tentang Tuhan dengan salah satu cata
yaitu interpretasi Injil Matius bisa jadi metode terbaik karena di Injil Matius
lah gunung paling banyak dijadikan sebagai simbol iman dan simbol keberadaan dan kehadiran (pertemuan) Tuhan dalam kehidupan manusia.
Seorang Teolog yang bernama
TL Donaldson dalam bukunya
Jesus
on the Mountain : A Study in Matius Teologi ( 1985) menganalisis enam
narasi dalam Matius di mana Yesus naik gunung atau menjadikan gunung untuk memperjelas pengajarannya.
Dia
mencatat bahwa " gunung " juga muncul dalam lima kali materi ucapan Yesus
yaitu :
1. Matius
5 : 14 --> Kamu adalah terang dunia. Kota yang terletak
di atas gunung tidak mungkin tersembunyi
2.
Matius 17 : 20 -->
Ia
berkata kepada mereka: "Karena kamu kurang percaya. Sebab Aku berkata
kepadamu: Sesungguhnya sekiranya kamu mempunyai iman sebesar biji sesawi saja
kamu dapat berkata kepada gunung ini: Pindah dari tempat ini ke sana, -- maka
gunung ini akan pindah, dan takkan ada yang mustahil bagimu
3.
Matius 18 : 12 --> "Bagaimana
pendapatmu? Jika seorang mempunyai seratus ekor domba, dan seekor di antaranya
sesat, tidakkah ia akan meninggalkan yang sembilan puluh sembilan ekor di
pegunungan dan pergi mencari yang sesat itu”
4.
Matius 21 : 21 --> Yesus
menjawab mereka: "Aku berkata kepadamu, sesungguhnya jika kamu percaya dan
tidak bimbang, kamu bukan saja akan dapat berbuat apa yang Kuperbuat dengan
pohon ara itu, tetapi juga jikalau kamu berkata kepada gunung ini: Beranjaklah
dan tercampaklah ke dalam laut! hal itu akan terjadi.
4.
5.
Matius 24 : 16 --> maka
orang-orang yang di Yudea haruslah melarikan diri ke pegunungan
Dalam pengajaran yang lebih pas momentumnya serta dilakukan
secara kontekstual, Gunung dapat dipakai untuk menanamkan pengertian yang
sesungguhnya, siapa sebenarnya penguasa gunung yang sebenarnya. Apakah “Nini Lau Pirik” atau Tuhan Yesus Kristus.
Komentar