Oleh Sarah Simanjuntak.
Pada sambutannya di HUT PGI yang diselenggarakan pada tanggal 30 Mei 2010 yang lalu, Wakil Gubernur Jawa Barat, Bapak Dede Yusuf mengatakan, bahwa Jawa Barat adalah provinsi dengan tingkat toleransi beragama yang paling kondusif. Hal ini perlu kita aminkan karena sangat bertolak belakang dengan hasil laporan – laporan yang telah terbit.
The Wahid Institute melaporkan bahwa Jawa Barat ditetapkan pada urutan teratas sebagai daerah paling banyak terjadi Pelanggaran Kebebasan Beragama dan Kehidupan Keagamaan sepanjang tahun 2009 disusul oleh provinsi Jawa Timur.
Mengutip dari situs http://www.sinarharapan.co.id/cetak/berita/read/perusakan-rumah-ibadat-negara-tak-berdaya/, lembaga lintas agama, Indonesian Conference on Religion and Peace – ICRP, juga mencatat Jawa Barat sebagai daerah dengan tingkat pelanggaran kebebasan beragama tertinggi yaitu 57 peristiwa, disusul oleh Jakarta (38 peristiwa), Jawa Timur (23 peristiwa), Banten (10 peristiwa), Nusa Tenggara Barat (9 peristiwa), Sumatera Selatan, Jawa Tengah dan Bali (masing-masing 8 peristiwa), dan berikutnya Sulawesi Selatan dan Nusa Tenggara Timur (masing-masing 7 peristiwa).
ICRP mencatat, dari 291 tindakan pelanggaran kebebasan beragama / berkeyakinan, terdapat 139 pelanggaran yang melibatkan negara sebagai aktornya, baik melalui 101 tindakan aktif negara (by commission), maupun 38 tindakan pembiaran yang dilakukan oleh negara (by omission). Adapun tindakan pembiaran berupa 23 pembiaran aparat negara atas terjadinya kekerasan dan tindakan kriminal warga negara dan 15 pembiaran karena aparat negara tidak memproses secara hukum atas warga negara yang melakukan tindak pidana.
Masih menurut ICRP, institusi negara yang paling banyak melakukan pelanggaran adalah Kepolisian (48 tindakan), Departemen Agama (14 tindakan), Walikota (8 tindakan), Bupati (6 tindakan), dan Pengadilan (6 tindakan). Selebihnya adalah institusi-institusi dengan jumlah tindakan di bawah enam tindakan.
Pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan yang dialami oleh jemaat gereja adalah dalam bentuk pelarangan pendirian rumah ibadah, pembubaran ibadah dan aktivitas keagamaan, dan intoleransi.
Sementara itu, Bonar Tigor Naipospos dari SETARA Institute juga ikut menyatakan Jawa Barat menjadi tempat pelanggaran kebebasan beragama tertinggi di Indonesia. Menurut Naipospos, Jawa Barat menempati posisi pelanggaran pertama karena Jawa Barat merupakan tempat kediaman beberapa aliran atau kepercayaan yang cenderung bersifat radikal. Selain itu, di Jawa Barat juga terdapat beberapa aturan pemerataan yang berpotensi untuk meningkatkan radikalisme pihak tertentu.
Terlepas pada alasan diatas, sebagai warga Jawa Barat hal ini tentunya menciptakan perasaan tidak sejahtera dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Melalui peristiwa – peristiwa yang mempertontonkan rapuhnya jaminan konstitusi kebebasan beragama di provinsi dan Negara tempat kita bermukim ini.
Melalui peristiwa pelanggaran kebebasan beragama yang terjadi, kita dapat melihat bahwa sedang terjadi krisis peranan yang pada akhirnya menuntut kesadaran. Baik kesadaran pemerintah yang semestinya memegang peranan objektif yang sangat penting untuk mengatasi masalah kebebasan beragama di negeri ini, bukan malah menjadi kekuatan baru untuk membelenggu kebebasan tersebut. Maupun kesadaran masayarakat.
Sebagai umat Kristiani Jawa Barat, yang juga merupakan bagian masyarakat minoritas (Hindu, Budha, Arab, India, Cina dan lain-lain) MUNGKIN kita masih terus diajak untuk harus berintrospeksi diri. MUNGKIN kita dianggap belum mempunyai andil dalam pembangunan provinsi Jawa Barat dan dalam pembentukan bangsa dan Negara Indonesia. (sms)
Komentar