
Pepatah ini boleh jadi salah satu pepatah yang sangat populer. Semua orang tahu dari orang tua sampai anak-anak, dari pelosok desa sampai kota metropolitan, dari jaman awal kemerdekaan sampai ke jaman teknologi canggih seperti sekarang. Pepatah yang masuk ke dalam sistim kesadaran dan
mind set bangsa ini.
Pepatah ini bisa dilihat dari dua sisi, positif dan negatif. Positifnya adalah kalau pepatah ini dipersepsikan sebagai dorongan untuk bersikap positif dan berjiwa besar. Artinya menerima segala sesuatu sambil belajar mencari khikmat dari semua hal yang tidak sesuai dengan harapan kita. Tadinya kita mengharapkan jeruk manis, tapi yang ada hanya jeruk asam. Tidak apa-apa, itupun masih bisa dimanfaatkan. Yang penting bersabar dan mencari khikmatnya. Tadinya kita mengharapkan lulus ke Perguruan Tinggi kelas A, gak apa-apa yang meskipun hanya diterima di Perguruan Tinggi kelas B atau C. Tidak ada akar rotan pun jadi.
Sisi negatifnya adalah jika pepatah ini dipakai untuk membenarkan kegagalan atau ketidak mampuan kita. Berusaha untuk membuat rendang dengan bahan daging terbaik, no 1. Namun hanya daging kualitas no 2 atau 3 yang ada. Tidak apalah, tidak ada rotan akar pun jadi. Tadinya berusaha untuk menjuarai kejuaran Sea Games, ternyata hanya mampu ranking 3, tidak apa sebab akar pun jadi. Tadinya berusaha untuk menetapkan target 100 hari pemerintahan dengan standard yang tinggi, tidak apa kan banyak alasan yang bisa dicari. Tadinya berusaha untuk menuntaskan pembangunan Banjir Kanal Timur selesai dengan standar kualitas tinggi sampai akhir tahun 2009. Tidak apa-apa, tembus saja dengan kualitas seadanya. Yang penting sudah sampai kelaut.
Entah mengapa, yang saya lihat ternyata konsep persepsi kedua yang lebih banyak terjadi dan dipakai. Dan pepatah tadi seolah-olah menjadi malaikat pelindung terhadap semua kegagalan dan ketidak becusan kita. Yang paling akhir kita lihat adalah hari ini atau besok. Diberitakan Trophi (Piala) Dunia sepak bola sedang ada di Indonesia yang sengaja dihadirkan untuk dipertontonkan kepada masyarakat. Coba kita renungkan apa maknanya. Supaya kita tahu dan lihat Piala yang berbalut emas itu saja? Negara lain berusaha mati-matian melakukan kompetisi dan pembinaan sepak bolanya untuk bisa meraih piala itu. Program pembinaan jangka panjang dilakukan dengan sangat sungguh-sungguh dan profesional, supaya team sepakbolanya masuk kualifikasi kelas dunia, dan akhirnya berhasil merebutnya. Coba iikuti apa yang dilakukan Brasil, Inggris, Jerman, USA, Spanyol dan Korea Selatan. Semua kemampuan dan integritasnya dipakai untuk menciptakan team sepak bola yang hebat supaya berhasil merebutnya. Pernah gak negara itu sengaja memamerkan piala itu pada waktu-waktu yang tidak punya relevansi?
Di Jakarta, piala ini sengaja didatangkan, dipublikasikan dengan luas supaya ditonton ramai-ramai. Lalu kapan Negara kita atau PSSI berhasil merebut piala ini melalui pertarungan hidup mati, dalam kejuaran dunia yang sesungguhnya? Jangan-jangan kehadiran Piala Dunia ini pun dilakukan dengan dengan
mind set pepatah tadi. Tidak ada rotan, akar pun jadi. Tidak bisa mendapatkannya dengan kejuaraan, yah yang penting pialanya ada di jakarta. Bagi saya, Piala tanpa kejuaraan ibarat “
Gadung Macik” saja.
Komentar