Featured Post

Perlunya Pembinaan Partisipatif dan Regeneratif di GBKP Runggun Graha Harapan Bekasi

Gambar
  Pt. Em Analgin Ginting M.Min.  Pendahuluan Pembinaan jemaat merupakan salah satu tugas hakiki gereja yang tidak dapat dipisahkan dari panggilan teologisnya sebagai ekklesia—umat Allah yang dipanggil, dibentuk, dan diutus ke tengah dunia (Ef. 4:11–13). Gereja bukan hanya tempat ibadah, tetapi juga ruang pembelajaran iman, karakter, dan kepemimpinan. Oleh karena itu, pembinaan yang berkelanjutan, partisipatif, dan regeneratif menjadi indikator penting kesehatan sebuah gereja lokal. Dalam konteks Gereja Batak Karo Protestan (GBKP), pembinaan memiliki makna yang lebih luas karena terkait erat dengan sistem pelayanan presbiterial-sinodal yang menekankan kepemimpinan kolektif-kolegial (runggu). Artikel ini hendak memperdalam, melengkapi, dan mengontekstualisasikan tulisan awal mengenai perlunya pembinaan di GBKP Runggun Graha Harapan Bekasi, dengan tetap mempertahankan esensi pengalaman empiris yang telah dituliskan, sekaligus memperkaya dengan muatan teologis dan refleksi aktual....

SUSI SUSANTI MEMBUATKU MENANGIS



Saya sampai tidak bisa berkata kata, dan pikiran menerawang mengembara di atas batas kesadaran saat mendengar jawaban Susi Susanti, ketika suatu saat diwawancarai oleh satu stasiun radio terkenal di Jakarta beberapa tahun yang lalu. Saat itu saya sedang mengendarai mobil berangkat ke kantor di Mangga Dua. Pewawancara bertanya, apakah Susi tidak pernah mendapatkan tawaran dari negara luar, mengingat bahwa banyak pebulutangkis Indonesia sudah hijrah ke negara lain, antara lain Mia Audina. Jawaban Susi Susanti waktu itu “ Ada beberapa negara yang mengkontak saya, bahkan menawarkan sebagai warga negara kelas satu, antara lain Amerika Serikat dan Kanada, juga (kalau saya tidak salah dengar) Inggris. Tapi saya tolak dengan jawaban, Saya orang Indonesia, lahir dan besar di Tasik Malaya. Biarlah seluruh prestasi saya persembahkan untuk bangsa ini.” Padahal lanjut Susi, waktu itu saya belum resmi mendapatkan..................Titik titik ini lah yang membuat mataku mulai berkaca-kaca.

Jadi, lanjut pewawancara, “ketika Mbak Susi tahun 1992 mempersembahkan Medali Emas Olimpiade yang pertama sepanjang sejarah Bangsa Indonesia di Barcelona, Mbak susi belum mendapatkan tanda bukti kewarga negaraan Indonesia? Jawaban Susi dengan kalimat yang sangat sendu namun tegas, “belum”. Mendengar jawaban Susi ini aku langsung menangis sesugukan, air mata semakin deras tak terbendung, untung aku hanya sendirian di Mobil.

Bangsa apakah kita ini, kita begitu memuja pemimpin yang terang-terangan korupsi, merekayasa, menyengsarakan rakyat. Namun sebaliknya kita begitu menjepit dan menghina anak bangsa, yang lahir di Tanah Air kita, dan mempersembahkan satu prestasi tertinggi kehidupan dalam bidang olah raga. Bukankah kita terlalu egois, bukankah kita terlalu feodal terhadap sesama anak bangsa, bukankah kita terlalu tidak peduli, bukankah kita hanya berpikiran pendek, dan tidak mampu memilih mana yang baik dan benar dan mana yang bohong dan munafik.

Untunglah tokoh itu sudah menghapuskan istilah Pribumi dan No Pribumi, mayoritas dan minoritas. Dan hak kewarna negaraan itu diberikan secara merata kepada semua anak bangsa (jika masih ada yang berusaha mempersulit, perlu kita pelototi ramai-ramai). Hari hari besar agamapun dia sejajarkan sama, dan diliburkan sama.
Dan ungtunglah Susi tidak jadi hijrah bahkan melanjutkan pretasinya dalam keluarganya, dalam bisnisnya dalan kehidupannya di Indonesia ini. Terima kasih Mbak Susi dan Mas Alan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Catatan Tambahan PJJ 6 - 12 April 2025

Catatan Tambahan PJJ 6 - 12 Juli 2025

Catatan Tambahan PJJ 11 – 17 Mei 2025