Postingan

Featured Post

Wartawan dan Assessor

Gambar
Membedakan Investigative Reporting dan Assessment Reporting: Antara Negative Thinking dan Positive Thinking Pendahuluan Dalam dunia profesional, baik jurnalisme maupun asesmen memiliki peran penting dalam membentuk opini publik dan pengambilan keputusan. Namun, investigative reporting (pelaporan investigatif) dan assessment reporting (pelaporan asesmen) berbeda secara mendasar dalam pendekatan, tujuan, dan paradigma berpikir yang digunakan oleh para pelakunya. Artikel ini mengulas perbedaan keduanya dengan menekankan pada orientasi berpikir — negatif versus positif — yang melandasi masing-masing praktik profesional. 1. Investigative Reporting: Mencari Fakta di Balik Fakta Investigative reporting adalah bentuk jurnalisme mendalam yang berupaya mengungkap hal-hal tersembunyi di balik peristiwa atau kebijakan publik. Ia dilakukan oleh wartawan profesional yang memiliki kompetensi dalam pengumpulan data, wawancara kritis, verifikasi, dan penulisan dengan standar etika jurnalistik tinggi (d...

Pandangan 2 Orang Profesor Tentang Batak dan Suku Karo

Gambar
  Prof Payung Bangun dan Prof Eron Damanik Persamaan kunci • Mengulas kelompok-kelompok etnik di Sumatra Utara dan relasinya (wilayah, adat, agama, bahasa, organisasi sosial). Payung Bangun memetakan “Batak” beserta sub-sukunya; Damanik menelaah proses pembentukan/penegasan identitas kelompok (khususnya Simalungun, Toba–Angkola–Mandailing).  • Mengakui dinamika modernisasi & agama sebagai unsur pembentuk identitas dan organisasi sosial (mis. HKBP, GBKP).  Perbedaan pokok (inti teoretis & sudut pandang) 1. Ontologi “Batak” o Payung Bangun: memperlakukan “Batak” sebagai payung etnokultural yang lebih khusus terdiri dari sub-suku-suku bangsa; dalam paparan bab “Kebudayaan Batak” ia memulai daftar sub-suku dari (1) Karo dan seterusnya (daftar bersambung di halaman berikut). Ini adalah tipologi etnografis yang memayungi Karo, Toba, Simalungun, Pakpak/Dairi, Angkola, Mandailing.  o Eron Damanik: menekankan “Batak” sebagai label yang terkonstruksi secara s...

Catatan Tanmbahan PJJ 19–25 Oktober 2025

Gambar
  Tema: Praktekkan Rendah Hati Kepada Orang Lain (Peteruk Ukur Nandangi Kalak Sideban) Nas: Filipi 2:1–4 “Jadi karena dalam Kristus ada nasihat, ada penghiburan kasih, ada persekutuan Roh, ada kasih mesra dan belas kasihan, karena itu sempurnakanlah sukacitaku dengan ini: hendaklah kamu sehati sepikir, dalam satu kasih, satu jiwa, satu tujuan, dengan tidak mencari kepentingan sendiri atau puji-pujian yang sia-sia. Sebaliknya hendaklah dengan rendah hati yang seorang menganggap yang lain lebih utama dari pada dirinya sendiri; dan janganlah tiap-tiap orang hanya memperhatikan kepentingannya sendiri, tetapi kepentingan orang lain juga.” 1. Pembukaan Surat Rasul Paulus kepada jemaat di Filipi merupakan seruan yang hangat untuk hidup dalam kasih, kesatuan, dan kerendahan hati. Paulus menulis dari penjara, namun justru menekankan sukacita dan semangat melayani sesama. Dalam bagian ini, Paulus menyoroti bahwa kehidupan Kristen yang sejati tidak ditentukan oleh posisi atau kehormatan, mela...

Mentalitas Berkekurangan Para Pendeta

Gambar
Oleh: Analgin Ginting Pengantar Dalam beberapa tahun terakhir, muncul fenomena yang memprihatinkan dalam kehidupan sebagian pendeta di berbagai denominasi gereja. Muncul perilaku yang menunjukkan adanya krisis spiritual dan ketidakseimbangan antara panggilan dan gaya hidup. Kita menyaksikan pendeta yang tetap merokok sembari menyusun rasionalisasi teologisnya, pendeta yang menolak penugasan pelayanan ke jemaat tertentu, bahkan jemaat yang menolak kehadiran pendeta karena reputasi atau gaya kepemimpinannya. Tidak jarang, pendeta juga ikut terlibat dalam investasi bodong, atau menyimpulkan diskusi Alkitab secara dangkal tanpa kedalaman refleksi rohani. Fenomena ini menimbulkan pertanyaan mendasar: Apakah menjadi pendeta adalah panggilan kudus atau sekadar pilihan profesi dan gaya hidup religius? Pertanyaan ini menyentuh inti persoalan spiritualitas pendeta masa kini. Banyak pendeta yang tampak kehilangan daya spiritual yang sejati karena mentalitas berkekurangan (scarcity mentality) yang...

Apakah Konsep Lifetime Employment Masih Relevan di Indonesia?

Gambar
  Pengantar Tulisan ini diinspirasi oleh makalah Dr. Moris Tarigan yang memberikan kuliah di Sekolah Bisnis dan Manajemen Institut Teknologi Bandung (SBM ITB) dengan judul Corporate Culture & Unleashing Gen Z Potential. Pemikiran beliau membuka wawasan tentang bagaimana nilai-nilai korporasi klasik seperti loyalitas, stabilitas, dan pengabdian jangka panjang masih relevan di tengah perubahan besar yang dibawa oleh generasi muda dan disrupsi digital. Tulisan ini mengajak pembaca untuk meninjau kembali relevansi konsep lifetime employment dalam konteks budaya, ekonomi, dan sosial Indonesia masa kini. 1. Insight yang Dapat Diterapkan di Indonesia a. Membangun Loyalitas dan Stabilitas Melalui Model 'Womb-to-Tomb' dan 'Lifetime Employment' Model India dan Jepang menekankan stabilitas kerja serta perhatian terhadap kesejahteraan keluarga karyawan. Dalam konteks budaya Indonesia yang kolektivistik, pendekatan ini selaras dengan nilai gotong royong dan kekeluargaa...

Bernegosiasi Atau Hancur

Gambar
  BERNEGOSIASI ATAU HANCUR (Oleh Analgin Ginting) Pengantar Dalam dunia modern yang sangat kompetitif, kemampuan bernegosiasi bukan lagi sekadar keterampilan tambahan, melainkan faktor penentu keberhasilan organisasi dan individu. Sejak awal abad ke-21, globalisasi, digitalisasi, dan perubahan sosial ekonomi telah memaksa para manajer untuk berhadapan dengan situasi kompleks: konflik kepentingan, keterbatasan sumber daya, serta perbedaan budaya kerja. Dalam konteks ini, muncul sebuah adagium tajam — “Bernegosiasi atau hancur.” Negosiasi adalah proses komunikasi dua arah untuk mencapai kesepakatan bersama di tengah perbedaan kepentingan. Namun di Indonesia, kualitas negosiasi sering kali lemah karena rendahnya kemampuan analitis, kurangnya keberanian mengambil posisi strategis, dan lemahnya integritas moral dalam berunding. Dalam banyak kasus bisnis, kelemahan ini berujung pada kerugian finansial, hilangnya peluang, dan rusaknya reputasi organisasi. Pengertian Negosiasi Menur...

Mengapa Pelatihan Kepemimpinan di GBKP Selalu Gagal

Gambar
Oleh: Pt. Em. Analgin Ginting Pendahuluan Pelatihan kepemimpinan paling fenomenal sepanjang sejarah manusia dilakukan oleh Yesus Kristus sendiri. Ia memanggil dua belas murid, merekrut mereka melalui seleksi yang ketat, dan melatih mereka selama tiga tahun dengan pendekatan yang holistik—mencakup dimensi spiritual, emosional, dan misiologis. Yesus tidak hanya mengajar melalui kata, tetapi melalui keteladanan hidup. Hasilnya adalah transformasi mendalam yang melahirkan kepemimpinan apostolik yang mengubah dunia. Dua ribu tahun kemudian, lebih dari enam miliar manusia mengenal dan mengikuti ajaran Kristus—buah dari pelatihan kepemimpinan yang otentik dan berpusat pada panggilan Ilahi (Greenleaf, 1977; Banks & Ledbetter, 2004). Sepanjang sejarah gereja, muncul pula berbagai model pelatihan kepemimpinan yang kuat dan berpengaruh. Ignatius Loyola mendirikan Society of Jesus (Serikat Jesuit) dengan prinsip disiplin spiritual dan formasi karakter yang ketat. Di sisi lain, tokoh-tokoh Refo...