Catatan Tambahan PJJ 16 - 22 Maret 2025

Bagi saya, khotbah Pdt Erlikasna Br Purba pada ibadah natal, 24 Desember 2023 minggu lalu paling bernas sejauh ini. Dengan mengambil teks dari Lukas 1 : 67 – 75 dan
thema Dibata Mereken Penebus, pendeta
mengarahkan khotbah nya untuk melihat
situasi dan dampak pertemuan malaikat Surgawi dengan para gembala yang
berjaga jaga terhadap keamanan domba gembalaannya. (Lukas 2 : 8 – 17)
Peristiwa sakral dan unik, serta hanya sekali kejadian
sepanjang sejarah manusia itu menjadi setting back groud yang dibuat oleh pendeta
ini untuk menekankan kerygma khotbah yaitu Shalom atau damai. Perjumpaan para malaikat dan para gembala pada
akhirnya menciptakan shalom yang menimbulkan dorongan yang sangat kuat untuk
mendatangi bayi Yesus yang lahir di kandang domba di Betlehem.
Ada tiga hal yang saya lihat dari metode, intonasi dan pengambilan
kerygma khotbah sehingga saya mengatakan
ini adalah khotbah yang bernas.
1.
Khotbah disampaikan dengan ringkas dan
fokus. Tidak terlalu banyak ilustrasi
yang jauh dari teks, sehingga jemaat tetap bisa fokus dan konsentrasi menikmati
khotbah.
2.
Intonasi yang mengambarkan greget atau keseriusan atau pentingnya memahami dan menerapkan kerygma
teks. Ada beberapa kali saya mendengar
suara gemetar halus saat pendeta menyampaikan khotbahnya. (Biasanya getaran
seperti ini muncul karena si pembicara ingin sekali pendengar memahami urgensi
dari khotbah, sementara satu dua para pendengarnya kelihatan tidak fokus,
ngantuk atau pun ada aktivitas yang lain)
3.
Mengangkat kerygma atau kesimpulan khotbah “Shalom
atau damai”. Ada beberapa kali pendeta
juga menekankan supaya sebagai orang yang sudah diselamatkan atas kelahiran Kristus,
maka kita semua jemaat pun harus menciptakan shalom.
Dari tiga hal diatas kita semua setuju bahwa orang Kristen harus
menciptakan shalom di rumah tangganya, di semua tempat dimana dia berada. Namun saya tidak mendengar pendeta mendorong agar serayan, pertua,
diaken, emeritus pun harus bersama sama menciptakan shalom. Saya bahkan melihat dan merasakan, bahwa
salah satu tempat atau momen dimana shalom itu benar benar kurang atau nyaris
tidak ada adalah pada saat Sidang Majelis Runggun. Datang dengan was was, pulang dengan
ngos ngos, Hahahahhha. Sulit sekali menciptakan shalom antar serayan
dipersidangan ya teman?
Nah Ketika merenungkan kembali khotbah pendeta Erlikasna Br
Purba di malam natal itu, khususnya momentum/saat
pertemuan antara Malaikat dengan gembala, maka saya melihat rupanya ada 4 level
Shalom .
Level 1 : Ketika para
gembala duduk beristirahat sesuai rutinitas mereka, setelah sepanjang hari
mengawasi dan mengiringi gembalaannya, seolah damai itu jika tidak ada konflik. Semua domba selamat, adem dan ketika malam
tiba, ya sama seperti malam kemarin dan kemarin dulu, kemarinnya lagi. Shalom rutinitas adalah shalom yang tidak ada ide. Shalom level 1 adalah tidak ada konflik dan tidak ada ide
baru.
Level 2 : tiba tiba malaikat datang menghampiri para gembala
dengan sinar terang dan baju putih bersih.
Ada rasa kaget dan takut. Rasa
kantuk atau setengah tertidur tiba tiba terinterupsi. Ini juga sering disebut, gangguan yang
positif. Shalom level 2 adalah munculnya interupsi, munculnya ide atau gagasan baru.
Level 3. Para
malaikat berseru dan berkata "Jangan takut, Hari ini di kota Daud sudah lahir
bagimu juru selamat. Keselamatan bagi
manusia dan kemuliaan bagi Allah di tempat yang maha tinggi." Shalom level
3 muncul saat mendengar Firman Tuhan serta percaya sepenuhnya
Level 4. Para gembala
sepakat mendatangi bayi yang lahir di Betlehem dengan meninggalkan kawanan
dombanya. Mereka sepakat (berkolaborasi)
untuk meninggalkan kawanan domba yang tadinya mereka jaga dengan sepenuh
hatinya, tapi demi berjumpa dengan Kristus semua harta dunia itu ditinggalkan. Shalom level 4 adalah Ketika kesepakatan
muncul untu mendatangi Kristus.
Kesepakatan diantara keluarga, diantara panitia, diantara serayan,
diantara BPMR, diantara BPMK, diantara
Moderamen , diantara satu sektor PJJ, diantara satu runggun, diantara satu klasis, diantara satu synode bahwa berjumpa dengan Kristus
lebih utama daripada apapun. Seperti tindakan para gembala yang mengatakan “ayolah
lah kita ke kota Daud, kita lihat bayi yang lahir itu”
Seorang teolog Reformed Amerika Serikat yang bernama Tim
Keller mengatakan bahwa para Presbiter kedepan ini perlu memperhatikan beberapa
hal yaitu untuk menciptakan Shalom Level
4 seperti dibawah ini
Salah satu karyanya yang relevan adalah bukunya yang
berjudul "Presbytery: Rediscovering Our Roots and Reforming the Church
Government" (Presbiter: Menemukan Kembali Akar Kita dan Mereformasi
Pemerintahan Gereja).
Dalam bukunya tersebut, Keller menekankan beberapa poin
kunci mengenai presbiter dan sistem gereja presbiterian:
1.
Kepemimpinan Kolaboratif: Keller mendorong
konsep kepemimpinan yang kolaboratif dalam gereja, di mana presbiter bekerja
bersama-sama untuk memimpin dan membimbing jemaat. Ia melihat presbiter sebagai
kelompok orang bijaksana yang bekerja bersama untuk membuat keputusan yang baik
bagi gereja.
2.
Teologi Penggembalaan:Keller menekankan
pentingnya presbiter sebagai penggembala dalam gereja. Ia memandang peran
presbiter sebagai para pemimpin rohani yang bertanggung jawab atas
penggembalaan jemaat, memelihara ajaran-ajaran iman, dan membimbing umat dalam
pertumbuhan rohani.
3.
Prinsip-Prinsip Keadilan: Keller
menggarisbawahi pentingnya prinsip-prinsip keadilan dalam pengambilan keputusan
gerejawi. Presbiter diharapkan untuk membuat keputusan yang adil dan bijaksana,
mengingat kepentingan jemaat dan tujuan misi gereja.
4.
Ajaran Reformed dan Keseimbangan Gereja: Keller
menyatukan konsep-konsep ini dengan ajaran Reformed dan mencari keseimbangan
antara struktur gereja yang teratur dan kebebasan yang dimiliki setiap jemaat
lokal.
5.
Pengakuan dan Pertanggungjawaban:Keller
memandang bahwa presbiter harus hidup dalam komunitas iman dan bertanggung
jawab satu sama lain. Ini melibatkan pengakuan dosa, dukungan spiritual, dan
pertanggungjawaban pastoral.
6.
Pemulihan Tradisi dan Kebijakan Gereja:Keller merangsang
kesadaran akan pentingnya memulihkan tradisi dan kebijakan gereja yang sesuai
dengan prinsip-prinsip Calvinist, khususnya dalam konteks gereja-gereja yang
mungkin telah kehilangan akar tradisional mereka.
Penting untuk diingat bahwa pandangan dan pemahaman
seseorang terhadap presbiter dan struktur gereja dapat bervariasi. Namun,
pandangan Tim Keller memberikan wawasan yang mendalam tentang bagaimana seorang
pemimpin gereja Calvinist dapat melihat peran dan fungsi presbiter dalam
penggembalaan dan pemerintahan gereja.
Merespon apa yang disampaikan oleh Tim Keller, perlu sekali
kita meningkatkan cara berfikir kita.
Tidak lagi hanya befokus jangka pendek, dan sectoral. Perlu memperluas jangkauan atau dimensi pemikiran dan keputusan kita. Berfikir secara kolektif kolegial perlu kita
tingkatkan menjadi berfikir secara kolaboratif, sebab kedepan di tengah arus kecepatan suplay
infomasi yang begitu hebat, setiap orang harus mampu fokus dan cepat
mendapatkan, memahami, menganalisa serta menerapkan informasi menjadi keputusan
yang lebih pas dan efektif. Kam gia pa
payo akapndu ?
Kita tinggalkan tahun 2023 dengan seluruh permasalahannya,
kita songsong tahun 2024 dengan niat belajar dan berkolaborasi. Bujur ras mejuah juah kita kerina.
Pt Em Analgin
Ginting.
Komentar