Inilah sebuah kisah kepemimpinan yang memberi inspirasi
kepada banyak pemimpin di dunia.
Tepatnya sebuah kisah tetang memilih
pemimpin. Tak kurang bekas presiden
Amerika Serikat, FD Rosevelt dalam kesaksiannya mengatakan bahwa kisah ini banyak sekali mengilhami dirinya saat memimpin
Negara Adidaya, Amerika Serikat. Beginilah
kisah yang diambil dari cerita mitologi Yunani.
Konon suatu saat raja meninggal dunia. Raja bijaksana yang
meninggal dunia ini tidak mempunyai keturunan/anak seorang pun, sehingga tidak
ada yang akan menjadi ahli waris menjadi raja berikutnya. Lalu dewan istana sepakat untuk memilih
pengganti raja berikutnya seseorang dari rakyat sendiri. Dicarilah pemuda pemuda yang paling hebat
dari seluruh pelosok negeri untuk dinominasikan menjadi raja.
Ternyata ditemukan 4 orang kandidat yang sama sama kuat dan
cerdas sama sama tampan dan usia pun relative masih muda dan merata. Harus dipilih satu dari 4 orang ini, tidak
mungkin empat empatnya menjadi raja.
Namun pertanyaannya, bagaimana memilih seorang yang benar benar pemimpin
yang mempunyai karakter jujur, berani,
jago berkomunikasi serta tidak mudah menyerah.
Satu lagi persyaratan yang penting adalah pemimpin yang terpilih harus dapat membawa seluruh rakyatnya menjadi orang
baik dan kelak masuk surga?
Dewan istana yang menggagas pencarian/perekrutan pemimpin baru
atau pengganti raja akhirnya menyepakati
cara memilih satu pemimpin dari 4 orang yang terbaik adalah dengan cara
berlomba memanah burung merpati.
Pada hari yang telah ditetapkan berkumpullah seluruh rakyat
dan dewan istana di lapangan terbuka yang sangat luas untuk menyaksikan siapa 1
orang dari 4 pemuda yang paling cakap dan bijaksana yang akan menjadi
raja. Keempat orang kandidat di suruh
berbaris menunggu ditempat yang telah ditentukan. Lalu sekitar 100 m dari tempatnya, ditegakkan lah sebatang kayu setinggi lebih
kurang 5 m. Pada ujung kayu sebelah atas
hinggap seekor burung merpati berwarna putih, dimana pada sebelah kakinya
ditambatkan tali sepanjang 25 Cm, dan ujung tali yang lain diikatkan pada
bagian kayu, sehingga burung tersebut tidak bisa terbang jauh.
Rakyat dan seluruh penonton berdebar menanti saat saat
perlombaan akan dimulai. Beberapa orang
tua-tua bijak yang dipilih menjadi juri
pun sudah menduduki tempatnya masing masing.
Tibalah giliran pemanah pertama. Dia mengambil posisi, lalu membidik
sasaran. Sebelum melepaskan anak
panahnya dia berfikir dalam benaknya.
Dia memandang sasaran burung merpati berwarna putih. Dia menyerah, dia
menyadari kemampuannya. Lalu dalam benaknya berfikir. Aku tidak akan mampu
untuk membidik secara tepat sasaran tersebut. Tapi jika tembakanku tidak mengenai satupun maka
alangkan malunya diriku, pikirnya. Ah,
aku akan membidik ujung kayu. Kalau tepat kena ke ujung kayu, aku tidak akan
malu, karena ada sasaran yang bisa ku bidik sesuai dengan kemampuanku
pikirnya. Hatinya pun pasti membidik
ujung kayu bukan burung. Dia mengambil ancang ancang, konsentrasi, tarik nafas
lalu melepaskan anak panahnya. Persis
mengenai ujung kayu. Si burung terbang
sedikit lalu hinggap lagi. Semua
penonton bertepuk tangan tanda kagum.
Pemanah kedua mengambil posisinya. Gilirannya sekarang membidik burung yang
masih hinggap di ujung kayu. Wajahnya
menampakan keceriaan dan optimisme bahkan sedikit anggap remeh. Dia memang mempunyai keahlian dan pengalaman
yang sangat dalam soal panah memanah.
Dia merasa pasti akan mampu memanah burung merpati. Dengan langkah yang pasti dan wajah yang
sangat yakin dia mengambil posisi. Menarik tali busur, memicingkan matanya, berkonsentrasi
lalu blessszz. Dia melepaskan anak panahnya.
Beberapa detik kemudian burung merpati di ujung kayu terbang kecil,
sehingga anak panah dari pemanah kedua mengenai tali yang menambat kaki burung
ini. Cesssz…anak panah mengenai tali yang mengikat burung tersebut. Talinya putus,
dan burung lepas terbang ke langit. Penoton
berdecak kagum dan bertepuk tangan.
Segera pemanah yang ketiga melompat dan mengatur posisi saat burung tersebut di atas langit terbang
bebas. Dia membidik sasarannya. Ceeeppp. Anak panahnya tepat mengenai sasaran
burung yang sedang terbang. Jatuh ke bumi tepat beberapa meter di depan tempat
duduk para tua tua yang menjadi juri.
Semua penonton berseru tanda sangat takjub dan kagum, lalu
bertepuk tangan. Tidak berhenti,tetap
bertepuk tangan bekepanjangan sangat kagum, dan yakin bahwa Raja telah terpilih
.
Tapi masih ada satu kandidat lagi yaitu pemanah
keempat. Sasaran sudah mati, sasaran
tidak ada lagi. Apakah dia harus diaanggap
kalah? Pemanah keempat mengambil posisi,
dia menghadap kayu kosong. Masih berdiri
kayunya, namun burungnya sudah tidak ada.
Lalu dia terlihat seperti berdoa. Mengambil ancang ancang membidikkan
panahnya. Bukan kepada kayu, namun ke atas langit tepat di atas kepalanya.Dia
menarik busurnya, lalu dengan sekuat tenaga dia melepaskan anak panahnya. Tiba tiba anak panah yang meluncur ke langit
itu muncul api. Dan anak panahnya masuk ke surga ke tempat para dewa.
Menurut Anda para
pembaca setia Katmospir dan pengunjung Facebook saya siapakah yang paling
pantas menjadi Raja atau pemimpin dari keempat pemanah tadi?
Siapakah yang paling
layak menjadi manager?
Siapakah yang paling
tidak pantas menjadi pemimpin bahkan menjadi manager?
Saya belum menjawab siapa yang terpilih menjadi Raja
berikutnya, namun saya menyampaikan kesimpulan yang pertama yang paling
penting. Bahwa memilih itu harus sungguh
sungguh. Memilih pemimpin itu tidak bisa asal memilih? Memilih pemimpin itu
harus penuh dengan tanggung jawab, bahkan harus menjadi kenangan seumur hidup
kita. Jika kita punya kesempatan
memilih, kita harus lakukan dengan sungguh sungguh. Karena kita dan kam menjadi wakil kehidupan
untuk menentukan pemimpin. Sekali Anda
salah memilih, maka Anda akan menderita, orang banyak pun akan menderita. JIka kam salah memilih, maka kam ikut
menciptakan kesengsaraan rakyat.
Jangan lah mau menerima uang untuk menentukan
pilihanndu. Kalau kam menerima uang 500
ribu ataui 1 juta rupiah untuk memilih sesorang, maka harga atau kualitas
pemimpinndu hanyalah 500 ribu atau 1 juta.
Hindari lah money politics. Memilih lah dengan hati nurani. Salam ras
mejuah juah. (Bersambung).
Komentar